
Di tengah ketidakpastian global yang semakin kompleks, Indonesia sedang berada pada titik krusial untuk menata ulang strategi ekonominya. Perlambatan ekonomi dunia, ketegangan geopolitik, pengetatan suku bunga global, hingga disrupsi digital telah menimbulkan tekanan baru yang tidak bisa diabaikan. Meski demikian, data menunjukkan bahwa Indonesia masih memiliki daya tahan ekonomi yang kuat dibanding banyak negara lainnya.
Badan Pusat Statistik bersama Kementerian Koordinator Perekonomian melaporkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 4,87% pada Triwulan I-2025, dan bahkan naik menjadi 5,12% pada Triwulan II-2025. Angka ini lebih tinggi dibanding proyeksi pertumbuhan ekonomi global yang hanya sekitar 3% pada 2025. Stabilitas ini turut ditopang oleh inflasi yang rendah sebesar 1,57% sepanjang tahun 2024, menjadi salah satu yang terendah di kawasan. Sementara itu, investasi asing langsung (FDI) mencapai US$55,3 miliar pada 2024, naik sekitar 21% dari tahun sebelumnya. Semua ini menunjukkan bahwa sejatinya Indonesia berada pada jalur yang relatif stabil, meskipun tekanan eksternal cukup berat.
Namun, stabilitas ini tidak serta-merta menghilangkan tantangan struktural yang terus membayangi. Ketergantungan terhadap komoditas mentah membuat ekonomi nasional rentan terhadap fluktuasi harga global. IMF dan OECD mencatat bahwa neraca transaksi berjalan Indonesia masih mengalami defisit sekitar -0,4% dari PDB, menandakan adanya tekanan pada sektor ekspor dan kebutuhan impor yang tinggi. Selain itu, ketidakpastian geopolitik global, terutama rivalitas AS–Tiongkok, mengganggu rantai pasok internasional dan berdampak pada stabilitas ekonomi nasional.
Dalam konteks inilah, strategi ekonomi dan politik Indonesia ke depan harus diarahkan pada transformasi yang lebih fundamental.
Pertama, hilirisasi industri harus terus dilanjutkan, namun tidak hanya berorientasi pada pembangunan pabrik semata. Hilirisasi harus terhubung dengan transfer teknologi, penciptaan lapangan kerja lokal, serta memastikan bahwa masyarakat daerah—termasuk Papua dan Papua Barat Daya—mendapat manfaat langsung, bukan hanya menjadi lokasi eksploitasi sumber daya.
Kedua, Indonesia perlu melakukan diversifikasi ekonomi secara lebih agresif. Ketergantungan pada sektor tambang dan perkebunan harus diimbangi dengan penguatan industri manufaktur, pertanian modern, logistik terintegrasi, dan pariwisata berkelanjutan. Ekonomi digital juga harus menjadi lokomotif baru, mengingat transformasi teknologi semakin mempengaruhi pola konsumsi, produksi, hingga pergerakan tenaga kerja.
Ketiga, pembangunan kualitas SDM menjadi kunci stabilitas ekonomi jangka panjang. Menghadapi persaingan ekonomi global yang berbasis teknologi, generasi muda Indonesia harus dipersiapkan dengan keterampilan digital, analisis data, kewirausahaan, dan literasi global. Di sinilah organisasi kemahasiswaan seperti HMI memiliki posisi strategis. HMI harus mampu menjadi ruang produksi intelektual yang melahirkan kader-kader yang tidak hanya vokal secara retoris, tetapi juga visioner, berbasis data, dan siap mengeksekusi gagasan.
Keempat, penguatan ekonomi daerah harus menjadi prioritas nasional. Papua dan Papua Barat Daya memiliki potensi energi terbarukan, sumber daya alam, dan budaya lokal yang dapat dikembangkan sebagai pusat pertumbuhan baru. Namun tanpa infrastruktur yang memadai, transparansi pengelolaan sumber daya, dan pembangunan SDM lokal, potensi tersebut tidak akan menghasilkan nilai yang optimal.
Akhirnya, Indonesia perlu memperluas kerja sama internasional di sektor teknologi hijau, energi terbarukan, dan investasi berkelanjutan. Di tengah transisi global menuju ekonomi rendah karbon, Indonesia memiliki posisi tawar yang besar, mulai dari cadangan nikel untuk baterai kendaraan listrik hingga hutan tropis yang menjadi paru-paru dunia. Pemanfaatan posisi strategis ini harus dilakukan dengan diplomasi ekonomi yang cerdas dan berorientasi jangka panjang.
Penutup
Indonesia memiliki modal besar untuk menjadi kekuatan ekonomi global di masa depan: pertumbuhan yang stabil, inflasi rendah, investasi yang meningkat, serta sumber daya manusia dan alam yang melimpah. Namun modal tersebut hanya akan berarti apabila dikelola dengan strategi yang tepat, tata kelola yang baik, dan kepemimpinan yang visioner.
Dalam arus global yang penuh ketidakpastian, Indonesia tidak boleh hanya menjadi penonton. Kita harus menjadi negara yang mampu menentukan arah ekonomi sendiri. Di sinilah peran generasi muda—terutama kader HMI—menjadi sangat penting: menjadi agen perubahan yang kritis, adaptif, dan berorientasi pada kemajuan bangsa.



